Search

Mendidik Anak Tanpa Marah-marah, Bisakah?

mendidik anak tanpa marah

Mendidik anak tanpa marah-marah menjadi hal yang sepertinya sulit dihindari, apalagi untuk para bunda. Seakan-akan setiap hari ada saja kejadian yang bisa memicu kemarahan bunda. Bahkan untuk  orang yang memiliki rentang kesabaran tinggi pun, marah ada kalanya tak bisa dihindari.

Memangnya bunda tidak boleh marah kepada anak?

Oh, tentu saja boleh. Bukankah marah adalah bagian dari rasa. Rasa alias emosi adalah bagian dari pemberian Allah yang harus dialirkan dengan tepat.

Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Namun ketika dialirkan dengan cara yang merugikan diri sendiri, bahkan hingga menyakiti orang lain jelas bukanlah cara marah yang bijak. Lalu seperti apakah marah yang bijak nan elegan?

Bagi saya yang tumbuh besar dengan terbiasa melihat cara pelampiasan amarah yang bar-bar, butuh waktu yang lama dan panjang untuk bisa belajar cara marah yang bijak. Maka beruntunglah buat sahabat yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang…

Memeluk Buku Biru Nan Cantik

Buku berjudul Don’t Be Angry Mom (Mendidik Anak Tanpa Marah-marah) karya dr. Nurul Afifah telah mencuri hati saya sejak pertengahan tahun 2019. Namun dikarenakan banyak pertimbangan, saya baru membelinya pada bulan Oktober 2020.

Saya memang termasuk agak pemilih dalam urusan membeli buku parenting. Kalau bukan ditulis oleh mentor-mentor parenting yang sudah saya kenal dan saya ikuti kelas-kelasnya secara online, jarang sekali saya akan membeli buku tersebut.

Namun karena sadar diri atas masih kurangnya pengendalian emosi di dalam diri, tahun lalu saya memang banyak membeli buku-buku dengan genre pengembangan diri, khususnya terkait pengelolaan amarah. Akhirnya saya putuskan untuk meminang juga buku dengan cover putih bergambar seorang ibu memeluk anaknya ini.

review buku dont be angry mom

Saya tidak berharap banyak ketika buku ini sampai di tangan. Bahkan saya sudah cukup bisa menebak alur bukunya akan seperti apa. Namun tetap saja di setiap karya seorang penulis, selalu ada nilai-nilai yang bisa diambil untuk memperkaya wawasan kita. Atau setidaknya memberikan proses recharging, dari yang tadinya sudah tahu menjadi ingat dan semakin paham.

Jika harus menulis apa yang saya sukai dari buku ini, maka saya acungi jempol untuk mbak Renandini Danistha sebagai ilustrator dan desainer covernya. Layout buku ini sangat menarik. Didominasi warna biru, ada banyak gambar cantik yang membuat isi buku semakin semarak.

Tak hanya itu, poin-poin penting yang menjadi highlight di setiap lembar atau bab dari buku ini dicetak dalam cara yang unik dan berbeda-beda. Sehingga buat orang yang suka membaca secara skimming, tetap bisa mengambil hal-hal penting dari buku ini.

Sebelum saya melanjutkan poin-poin menarik dari karya kece @bundatalk ini, yuk kenalan lebih dekat dengan bukunya:

Judul Buku: Don’t Be Angry, Mom (Mendidik Anak Tanpa Marah-marah)

Penulis: dr. Nurul Afifah (@bundatalk)

ISBN: 978-602-5156-52-8

Editor: Dewi Kournia Sari

Penata Letak: @EndahDwis27

Ilustrator dan Desain Cover: Renandini Danistha

Penerbit: Ikon

Tahun Terbit: 2020 (Cetakan 7)

Halaman: 168

Kesan Pertama yang Begitu Menggoda

Selain desain cover dan ilustrasi yang menarik, serta kesadaran diri tentang pentingnya belajar mengelola marah dengan lebih bijak, saya memilih buku ini untuk mengikuti Reading Challenge ODOP (RCO) #9 dikarenakan ingin mulai berproses menyusun buku solo saya.

Ada beberapa ide buku solo yang berkelibat di pikiran, salah satunya memang berhubungan dengan jatuh bangunnya saya sebagai seorang ibu dengan background keluarga broken home. Banyak hal yang ingin ditulis, tetapi masih acak adut seperti benang ruwet.

Dengan membaca buku-buku bertema sejenis, membuat saya lebih bisa menyusun poin-poin apa saja yang ingin disampaikan di buku solo nantinya.

kesan pertama pada Don't Be Angry Mom

Rapi merupakan kesan pertama lainnya yang saya dapat dari buku ini. Tidak ada typo adalah poin plus. Membuat saya betah membaca hingga akhir.

Halaman pertama di bab satu dibuka dengan dua contoh percakapan yang berisi omelan marah seorang ibu pada anaknya. Sungguh makjleb buat saya, karena beberapa saat sebelum membuka lembaran buku ini, omelan yang terbaca di lembar itu baru saja saya lontarkan ke anak-anak.

Selain membuka dengan contoh omelan amarah ibu pada anak, penulis juga menuliskan pengertian amarah dari berbagai sumber. Buku ini juga penuh dengan quote-quote yang instagrammable. Buat yang suka bingung cari konten atau caption IG, cuzz lah pakai saja quote yang ada di buku ini. Namun jangan lupa sertakan sumbernya ya.

Dari bab pembuka saya seperti dijewer dan diingatkan kembali akan suatu hal penting. Secara teori saya hafal sekali pernyataan ini, tetapi dalam prakteknya sungguh bukan hal yang mudah untuk dijalani.

Anak yang memiliki orangtua pemarah akan melihat bahwa kemarahan adalah suatu hal yang biasa. Sebab pada prinsipnya anak belajar dari apa yang mereka lihat.

3 Tahapan Mendidik Anak Tanpa Marah-marah

Setelah dibuka dengan ciamik, lembar demi lembar buku ini terus mengalirkan catatan demi catatan menarik. Dari 168 lembar buku ini, saya mengambil kesimpulan bahwasanya untuk bisa mendidik anak tanpa marah-marah, kita perlu melalui 3 tahapan berikut:

tahapan mendidik anak tanpa marah-marah

1. Kenali Penyebab Kemarahan

Sebelum belajar mengelola atau mengendalikan kemarahan, penting bagi kita untuk mengenali penyebab amarah. Dr. Nurul Afifah dalam buku tersebut menuliskan ada 4 hal yang sering menjadi penyebab kemarahan para bunda:

  • Penyebab internal (fisik dan psikis), biasanya disebabkan karena lelah, lapar, mengantuk, mood swing (PMS, baby blues syndrome), stres, ataupun sedang tidak fokus mendampingi anak.
  • Penyebab eksternal, disebabkan karena kita memiliki penilaian yang berbeda untuk sikap-sikap lugu anak.
  • Gap (kesenjangan), orangtua seringkali mengharapkan hal-hal yang terlampau tinggi pada anak, sedangkan anak sedang pada masa bereksplorasi. Tidak mungkin juga kan anak umur 2 tahun dituntut untuk bisa makan tanpa berserakan?
  • Standar yang terlampau tinggi, banyak orangtua salah persepsi tentang marah. Dikiranya marah itu perlu untuk mendisiplinkan anak. Padahal marah dan tegas adalah dua hal yang sangat berbeda.

2. Kenali Dampak Marah

Setelah kita mampu mengenali sumber-sumber pemicu amarah, penting juga untuk mengetahui dampak dari amarah. Diharapkan dengan memahami dampak yang timbul dari kemarahan, kita bisa lebih bijak untuk mengelola amarah.

Dampak marah bagi anak bisa beraneka rupa. Secara fisik bisa menyebabkan sel-sel otak menjadi rusak, dan bahkan mati, jantung lelah dan mengakibatkan dyspepsia (maag).

Sementara secara psikis, anak yang sering mendapat amukan marah dari orangtuanya akan cenderung memiliki self worth yang rendah, introvert, mudah depresi, prestasi belajar menurun, tidak memiliki kepercayaan pada orangtua, kesulitan menjadi pendengar yan baik dan memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Lebih membahayakan lagi ketika anak mencari pelampiasan di luar rumah.

Bagi orangtua, marah yang berlebihan pun juga bisa mengakibatkan cedera pada fisiknya, contoh mengalami hipertensi, serangan jantung, menurunnya fungsi paru, mengalami stroke, skit kepala, susah tidur, depresi dan bahkan early aging. Nah lo, nggak mau kan cepat tua karena mudah marah-marah ke anak, sahabat?

Tidak hanya berdampak secara fisik, terlalu sering marah juga bisa mengakibatkan diri kita kehilangan kendali, merasa berdosa karena bertentangan dengan agama dan merenggangkan bonding dengan anak-anak.

3. Kenali Cara Kendali Marah

Sungguh dampak dari amarah tidaklah kecil kan? Jadi masih mau terus-terusan mengandalkan amarah dalam proses pengasuhan anak?

Pastinya nggak mau kan? Namun gimana kalau sudah terlanjur marah, adakah cara untuk mengendalikan dan mengelolanya? Untungnya di buku ini dibahas dengan cukup lengkap poin-poinnya:

A. Kendali Agar Tidak Mudah Marah

Lebih baik mencegah daripada mengobati, ingat kan pepatah tersebut? Begitu juga dengan amarah. Jangan tunggu rasa marah meledak baru diatasi. Akan lebih baik jika kita bisa mengetahui cara-cara untuk mengendalikan diri agar tidak mudah marah kan?

  • Bersyukur dan bersabar, tidak ada obat yang lebih mujarab dari rasa syukur dan sabar. Tidak mudah, itulah kenapa surga balasannya. Perlu latihan yang tidak sehari dua hari, tapi sepanjang hidup.
  • Fokus pada kelebihan anak, saat rumah berantakan, jangan fokus pada berantakannya. Fokuslah bahwa ternyata anak kita sehat dan aktif, anak kita kreatif dan penuh semangat belajar.
  • Kenali kondisi diri, ingat lagi tentang penyebab-penyebab marah. Jika dirasa kita sedang tidak dalam kondisi terbaik, sebaiknya komunikasikan pada anak-anak atau mlipir dulu deh daripada meledak.
  • Me time plus, sudah banyak yang menuliskan tentang manfaat me time bagi para bunda. Sederhananya agar tetap waras. Pilihan me time antara bunda yang satu dan lainnya tentu saja berbeda. Namun akan lebih baik jika me time diisi dengan aktivitas yang bermanfaat, seperti membaca, menonton kajian, ngeblog, dsb.
  • Quality time, selain meluangkan waktu untuk diri sendiri, penting juga bagi kita untuk meluangkan waktu setidaknya 30 menit per hari untuk ngumpul bareng bersama keluarga tanpa ada gangguan benda-benda kotak (hp, TV, koran, kompor dan lain-lain).  Selain kumpul bersama anak-anak, meluangkan waktu khusus bersama pasangan untuk merayakan cinta secara sederhana juga bisa membantu kita tetap waras tiap harinya.
  • Berjiwa positif, selalu latihlah pikiran dan jiwa kita untuk melihat suatu hal dari sisi positifnya.
  • Harapan realistis, jangan menuntut anak untuk sempurna. Anak-anak pun tak pernah menuntut kita sebagai orangtua yang sempurna kok. Anak-anak hanya ingin orangtua yang bahagia dan bisa selalu tersenyum saat mendampingi mereka.

B. Kendali Saat Ingin Marah

Jika segala ikhtiar untuk mengendalikan amarah telah dilakukan, tetapi masih ada saja hal yang memicu rasa marah datang, lakukanlah hal-hal berikut:

  • Tarik nafas dalam-dalam.
  • Berhenti sejenak, jangan langsung ikuti hawa nafsu, tenangkan diri dan kembali fokus.
  • Dengarkan suara hati anak, terima perasaannya.
  • Hindari kekerasan, baik itu verbal ataupun fisik, karena keduanya akan menancap lama di hati mereka.
  • Take it easy; ucapkan ta’awudz, berwudhu, diam dan mengubah posisi.

C. Kendali Saat Terlanjur Marah

Ada kalanya amarah tak lagi bisa terbendung, maka yang bisa dilakukan adalah

  • Mengendalikan diri, tidak ada yang bisa menghentikan selain diri sendiri, maka perlu kesadaran untuk menghentikan hal-hal yang berlebihan.
  • Jangan bicara, mlipir sejenak dari hadapan anak-anak, entah itu ke kamar mandi atau kamar tidur. Biarkan amarah kita ternetralkan.
  • Minta maaf pada anak dan sampaikan apa yang ada di hati.
  • Metode pukul rangkul, yaitu sebuah metode yang bisa kita lakukan setelah sama-sama tenang. Berkomunikasi dengan anak tentang kejadian tersebut, saling meminta maaf dan merangkul. Tujuannya untuk merakit kembali bonding yang koyak.

Tidak ada gading yang tak retak, sebagai pembaca saya mengharapkan bahasan tentang pengelolaan amarah lebih lengkap dan dalam. Terutama untuk para orangtua yang memiliki background masa lalu yang ‘tidak biasa’. Mungkin jika buku ini dilengkapi dengan beberapa tips self healing untuk orangtua yang punya luka di masa lalu akan jauh lebih kaya isinya.

Setelah bab Kendali Marah, 60an lembar yang tersisa lebih fokus tentang mengatasi kemarahan yang terjadi pada anak. Namun karena hal tersebut pula, buku ini pada akhirnya juga bagus untuk dimiliki oleh para ibu muda yang kebingungan mencari cara mengatasi tantrum pada anak.

Overall, saya memberikan angka 8 untuk buku yang cukup berhasil mengingatkan saya bahwa mendidik anak tanpa marah-marah itu bisa kok. Selayaknya hidup, marah itu pilihan, mau dilakukan dengan cara yang baik atau buruk? Semua pilihan ada di tangan kita masing-masing. Happy parenting and angry wisely, sahabat!

11 Replies to “Mendidik Anak Tanpa Marah-marah, Bisakah?”

  1. Eka Fitriani Larasati says: March 9, 2021 at 2:06 pm

    Kak Marita, saya juga kepengen beli buku ini, direkomendasi temen juga tapi belum sempet beli. I just knew we have the sama background ternyata, dulu aku juga sempet kepikiran bikin buku tentang broken home dari sisi anak. Tapi gak jadi, setelah curcol di blog tentang inner child dan trauma di blog, rasanya my Case terselesaikan dengan sendirinya. Harapannya sama, semua orangtua dengan latar belakang bisa menjadi orangtua dan pribadi yang hidup tidak berbayang trauma lagi

  2. chairina says: March 9, 2021 at 5:01 pm

    buku ini beneran bagus banget mba. aku pernah baca juga dari kakak ku. jadi pengen baca lagi. udah banyak yang terlupa

  3. Eka duwi handayani says: March 9, 2021 at 10:44 pm

    Intinya kudu sabar ya mom … aku juga masih belahar terus untuk skilll yg satu ini … huhuhu

  4. Jihan says: March 10, 2021 at 3:53 am

    Ya Allaah kok jadi merasa ketampar yaa. Kadang kalo capek anak jadi kena getahnya. Ngerasa bersalah banget kalo dia jadi ketakutan gitu 😭😭 duh auto peluk anak setelah baca review inii

  5. Arai Amelya says: March 10, 2021 at 5:27 am

    Sebagai orang yang egois, nggak sabaran dan gampang emosi, kadang aku mbayangin, apa aku udah siap jadi istri dan Ibu nanti ya? Kasihan anakku kalau selalu kena semprot Ibunya yang sumbu pendek huhu. Tapi aku banyak belajar dari tulisan ini, semoga bisa makin sabar dan logis.

    1. admin says: March 10, 2021 at 5:49 pm

      Saya pun orangnya yang berkarakter demikian kok mbak. Dan sejatinya anak adalah guru kecilnya orangtua. Mengasuh mereka, sekaligus mengasuh diri sendiri.

  6. Ivayana says: March 10, 2021 at 5:44 am

    Minim marah2 itu butuh iman dan kesadaran yg penuh, jujur masih suka kelepasa klo lgi byk kerjaan 😣

    1. admin says: March 10, 2021 at 5:49 pm

      Ya mbak, memang kuncinyakudu fokus saat sama anak. Kalau lagi gak fokus ya bakal sering kelepasan deh.

  7. Akarui Cha says: March 10, 2021 at 6:09 am

    Menjadi orangtua dengan segala tuntutan hidup memang nggak mudah ya. Setiap marah saya menyesal. Walau memang jarang sih tapi ternyata membuat si kecil ikut merasa marah juga. Bukannya berjalan baik.

    Jadi penasaran sama bukunya.

  8. Pipit ZL says: March 10, 2021 at 8:51 am

    Tergantung mood ibu dan anak juga IMO. Anak pertama saya kalau disuruh seringkali harus dibentak dulu baru dikerjakan, atau harus diancam dulu.
    Pakai bahasa pelan saja sepertinya tidak memoan.

    1. admin says: March 10, 2021 at 5:48 pm

      Bisa jadi karena sejak awal dibiasakan seperti itu mbak. Akhirnya kalau nggak dibentak ya nggak mempan 🙂
      Anak pertama saya juga ‘korban kurang belajarnya’ saya dulu kala. Jadi typicalnya juga seperti itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these <abbr title="HyperText Markup Language">html</abbr> tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*